Siang menjelang sore.
Ibu mengizinkanku ke Bogor dengan kekhawatiran yang lebih dari biasanya. Beliau memang orang yang memiliki tingkat kekhawatiran sangat tinggi, tentang apa saja. Sejak dulu, sejak SD. Pesan beliau sebelum anak-anaknya berangkat sangat banyak. Hati-hati di jalan, kalau nyebrang tengok kanan-kiri, dompet di bawa ngga, hati-hati hpnya, dan lain-lain. Selalu begitu, setiap hari.
Hari ini, raut wajah kekhawatiran itu lebih dari biasanya. Alasan pertama (menurutku ketika itu) adalah karena aku izin ke Bogor sangat mendadak. Padahal sejak kemarin sudah berencana ke sana, tapi baru minta izin hanya beberapa saat sebelum berangkat. Kedua, karena aku keluar lewat pintu belakang. Ini sepertinya alasan utama beliau. Entahlah ada pantangan apa lagi. Aku juga baru tahu kalau mau pergi keluarnya lewat pintu belakang itu ngga boleh (anggapan/kepercayaan orang dahulu). Ibu sangat percaya pada hal-hal seperti itu. Ibu adalah orang kampung (kami juga orang kampung, Depok asli) dan sekarang beliau mungkin salah satu sesepuh yang masih ada. Orang kampung sini (Sidamukti) banyak sekali memiliki larangan/kepercayaan yang kadang ga masuk akal. Aku dan kakak-kakakku sulit sekali menghapus ini, Ibu sama sekali tidak pernah termakan modernitas walaupun setiap hari nonton sinetron. Ada perasaan khawatir juga pas liat mimik wajah Ibu. Apalagi kondisiku ngga terlalu fit, tapi bagiku ini saatnya membuktikan kesalahan larangan itu.
Kereta ekonomi jurusan Bogor baru sampai di Manggarai. Artinya KA baru sampai Depok lebih dari setengah jam lagi. Calon penumpang tidak banyak, tapi kupikir KA akan penuh, feeling saja. Duduk manis di peron sambil memperhatikan pedagang koran, peminta-minta, pemungut botol air minum kemasan dan sekaligus 2 wanita dewasa yang memberikan rezeki kepada mereka (pemungut botol-red). Tingkah yang memuakkan, buang sampah seenaknya!!! Mereka berdua diskusi panjang lebar tentang cinta, tapi tidak sedikitpun jatuh cinta pada kebersihan. Kebiasaan buruk orang Indonesia. Oia, pemandangan menarik lainnya ada di seberang sana, peron 1. Dua orang yang bergaya hidup sama, namun tidak bertegur sapa. Malahan mereka duduk berjauhan. Rasanya mereka juga tidak saling tersenyum.
Tidak kurang dari tiga kali kulirik kantung kecil tepat di atas pahaku. Dari tadi seperti bergerak, tapi bentuknya masih menggembung. Itu pertanda isinya masih ada. Sebuah Handphone berharga kurang dari 1 juta rupiah (dulu waktu dibeli).
Kereta datang. Benar saja penumpang membludak. Bagian Informasi mengumumkan bahwa KA baru akan berangkat setelah di susul KA Pakuan. Yaps, begitulah nasib kelas ekonomi. Aku berdiri tepat di depan pintu. KA ekonomi, yang lebih tua, masih saja menunggu KA Pakuan dan aku pun tersadar kantung kecilku sudah kempes. Hmmmm, akhirnya kehilangan hp juga.
Ini adalah pertama kalinya aku kehilangan hp. Sejak kuliah dulu, aku yakin suatu hari nanti aku akan merasakan kehilangan benda itu. Karena cerita tentang teman-teman yang kehilangan benda itu sering ku dengar. Bahkan seorang kawanku sampai 8 kali kehilangan hp. Mungkin bisa masuk MURI. Aku sendiri sering lupa meletakkan hp. Terakhir kali, 2-3 hari yang lalu, dalam keadaan silent benda itu ternyata ada di bawah bantal. Jadilah semua pesan dan panggilan masuk ku balas 6-8 jam kemudian.
Aku pun teringat sama Ibu. Bukan, bukan karena larangan itu benar, tetapi karena beliau pastinya akan sangat menyesal dan akan semakin percaya pada larangan itu. Ah, aku harus siap-siap dengan wejangan ibu yang lebih panjang kalau pamitan mau pergi.
Hilang semua catatanku padahal banyak yang belum disalin. No kontak juga, hanya ada 4 nomor yang ku hafal di luar kepala. Dua di antaranya sudah tidak aktif dan satunya lagi punya aidus. Hmmmm. Aku cinta padaMu ya Allah.
Di rental Daud.
Rindu sekali aku pada Bogor,
pada kampus tercinta,
pada hujan,
dan pada kenangan yang tersisa.
Minggu, 15 Februari 2009
Naluri ibu atau larangan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo....