Sore kemarin, suara gaduh, tanpa diundang, tiba-tiba aja masuk kamar. Segera terbangun dan sedikit melirik lewat jendela. Wooow, anak tetangga sebelah lagi ngamuk. Seperti yang sudah-sudah, memang tabiatnya luar biasa kacau kalau lagi nangis. Dia terbiasa bergulingan (bahasanya apa sih?) di tengah jalan, kakak saya malah lebih ekstrim dengan bilang dia “gila”. Anak perempuan kelas 1 SD yang terlalu di manja, lagaknya seperti raja. Saya sendiri sudah muak dengannya dan juga kakaknya, yang kelas 6 SD. Dua anak itu ga pernah bertegur sapa lagi dengan keluarga saya, sejak sebelum lebaran, bahkan tidak dateng ke rumah ketika lebaran. Salah apa kami? Dan orang tuanya menganggap itu biasa. Bahkan tetangga yang duduk di rumah saya pun seperti menjadi musuhnya. Satu ucapan anak kelas 1 SD itu yang masih saya ingat “ngapain lu liat-liat ke sini (rumahnya)?”. Kata “lu” untuk nenek-nenek yang sering bertandang ke rumah, teman-teman ibu. Jangan tanya bagaimana pendapat ibu dan teman-temannya tentang dua anak itu.
Satu waktu di ramadhan tahun lalu, ba’da tarawih, kakaknya yang sudah kelas 6 SD dan bersekolah di sekolah Islam, memanggil saya dengan kata “setan”. Ketika itu hanya do’a yang terucap “semoga satu saat di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dia bertemu dengan sebuah keajaiban (mentoring) yang bisa merubah dia”. Ya.. semoga aja ada hidayah yang nyangkut, sehingga dia sadar dengan kesalahannya dalam bersopan santun terhadap orang yang lebih tua, terhadap pembantu, dan tentunya terhadap kedua orang tuanya.
Kembali ke kegaduhan, ternyata yang kemarin sore lebih dari biasa. Karena pembantunya sampai nangis-nangis, di gigit dan di kejar-kejar sambil membawa pisau/gunting dan adiknya, yang berumur kurang dari 2 tahun, juga jadi korban pelampiasan tangisnya. Sampai balita itu terlihat shock. Makanya kegaduhan kemarin lain dari biasanya. Kegaduhan yang membuat ibu-ibu tetangga harus turun tangan mencegah itu. Luar biasa! Dari mana pikiran sejahat itu hadir dalam otak anak SD kelas 1?? Anak sekolah Islam pula.
Televisi kah? Sangat mungkin. Perhatikan saja sinetron-sinetron yang ada. Anak SD bisa berkomplot merencanakan kejahatan untuk mencelakakan temannya, balas dendam, berebut harta, berebut pacar. Dari satu sinetron ke sinetron lainnya, temanya sama dan ga akan jauh dari sana. Tapi menurut saya, andil paling besar datang dari kesibukan kedua orang tuanya yang bekerja. Apalagi sang ayah bekerja di luar negeri. Sehingga ketika bertemu yang ada adalah pelampiasan kasih sayang seluas-luasnya karena terlalu lama berpisah, bukan menjadi panutan, malah menjadi pembela tanpa kompromi. Dan sepertinya mereka berpikir dengan menyekolahkan ke Sekolah Dasar berlabel IT, masalah akhlak akan selesai. Sebuah pemikiran yang salah kaprah lantaran untuk jenjang SD, rumah jauh lebih berpengaruh ketimbang sekolah. Barulah ketika SMP, lingkungan sekolah berpengaruh padanya. Saya pun menemui anak SMP kelas 7 yang mulai berubah. Ketika awal, bahasanya sangat sopan “aku “dan “saya”. Kini, “lu” dan “gue” mulai terbiasa. Ketika SMP itulah masa remaja di mulai. Masa di mana seorang anak ingin menemukan jati dirinya bla-bla-bla-bla. Sudah lah saya bukan anak psikologi, tapi pengetahuan tentang itu sangat penting.
Sabtu, 27 Februari 2010
Salah Kaprah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo....