Laman

Selasa, 15 Desember 2009

Khalil Gibran

Bisikan rahasiamu pada ilalang,
maka jangan salahkan angin yang mengabarkan pada ranting-ranting cemara.

Rabu, 09 Desember 2009

Orang yang Setia

ORANG YANG SETIA


Mohammad Natsir. Lahir di Alahan Panjang Sumatera Barat, 100 tahun lalu. Natsir adalah pemimpin partai Masyumi dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah. Sejak belia sampai usianya yang lanjut terus berjuang untuk cita-cita tegaknya Islam. Tak pernah lelah dan berhenti. Baru berhenti saat takdir ajal menjemputnya.
Natsir adalah orang yang sangat setia. Setia terhadap istri yang dinikahinya. Meski usia istrinya lebih tua, ia tetap setia sampai akhir hayat. Orang Jawa bilang pernikahan Natsir dengan Siti Nahar disebut sebagai pernikahan: “Kaken ninen-ninen”. Pernikahan yang langgeng atau abadi, yang hanya dipisahkan oleh kematian. Natsir tak pernah tergoda dengan perempuan lain. Pemimpin Masyumi itu tetap setia dengan satu istri yang menyertainya di saat suka dan duka. Bahkan ketika Natsir meninggalkan Jakarta menuju hutan di Sumatera Barat, sang istri juga menyertainya. Sungguh luar biasa. Bersama-sama terus sampai ajal memisahkan diantara keduanya.


Dua tokoh besar Indonesia pernah berpolemik soal poligami. Soekarno menentang keras paham poligami, sedang Natsir ada di sisi lain, membela poligami. Soekarno menganggap poligami mirip penjajahan dan perbudakan yang dilakukan para lelaki terhadap kaum perempuan dan menganggap ajaran Islam adalah salah karena memberi peluang bagi poligami. Sebaliknya, Natsir membela poligami. Baginya tak ada yang salah dengan poligami. Meski poligami harus disertai dengan aturan dan syarat yang ketat. Salah satu syaratnya di dalam Al-Qur’an adalah harus adil. Tentu yang menarik bagi kedua pemimpin itu adalah realita dalam kehidupan keduanya. Soekarno yang menentang habis-habisan poligami justru istrinya ada di mana-mana, tetapi Natsir tetap setia dengan istrinya yang telah memberikan lima orang anak. Bahkan sampai akhir hayatnya. Kebiasaan tidak berpoligami bukan hanya dianut Natsir, tetapi juga seluruh pemimpin Masyumi.


Natsir adalah seorang yang sangat setia pada cita-cita Islam. Ia seorang yang sangat cerdas. Ketika selesai ujian di SMA (Belanda), Natsir mendapatkan nilai rata-rata A. Sebenarnya, pemimpin Masyumi itu mempunyai kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah Kedokteran di Belanda. Namun kesempatan itu tak diambilnya. Ia memilih berguru kepada Ustadz A. Hasan, pemimpin Persis di Bandung. Perjumpaan Natsir dengan hasan itu kelak memberi pengaruh tersendiri bagi kehidupannya, terutama berkaitan dengan pandangan keagamaannya. Ketika masih belia, Natsir pernah berguru kepada Haji Agus Salim, bersama-sama dengan Roem, Prawoto, Kasman, Yusuf Wibisono, dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya, yang tergabung dalam Jong Islamiten Bond (Organisasi Pemuda Islam).


Perjumpaan Natsir dengan A. Hasan dan Haji Agus Salim menumbuhkan kekentalan dan kecintaannya terhadap Islam. Maka, tak heran setelah Indonesia merdeka, kaum muda Islam, termasuk salah satunya adalah Natsir, memelopori berdirinya partai Islam Masyumi, yang merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimim Indonesia. Melalui sebuah ikrar di bulan November 1947, terbentuklah Masyumi itu, yang merupakan pencerminan gabungan dari seluruh potensi Islam. Tentu yang paling menarik sesudah Pemilu 1955 dan Masyumi mendapatkan suara 22%, Partai itu memelopori perjuangan di Konstituante, agar Islam menjadi dasar Negara.


Pidato-pidato para pemimpin Masyumi di Konstituante dibukukan dalam Capita Selecta, mencerminkan padangan yang sangat jelas, bagaimana para pemimpin Masyumi dengan sungguh-sungguh ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Pidato Natsir lebih jelas lagi membandingkan antara ideologi Pancasila dengan Islam. Natsir menegaskan ideologi Pancasila, menurut pemimpin Masyumi itu, adalah ideologi la diniyah atau ideologi sekuler.


Pertentangan antara Natsir dengan Soekarno memuncak, ketika Soekarno sudah sangat jauh dipengaruhi oleh PKI. Soekarno benar-benar menjadi alat PKI, yang secara sistematis mengeliminir unsur-unsur Islam dari kekuasaan Negara. Ketika Natsir merasa terancam jiwanya, maka ia meninggalkan Jakarta menuju Sumatera Barat dan bergabung dengan sejumlah perwira militer, yang menentang Soekarno, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan PPRI. Sampailah, tindakan presiden Soekarno, membubarkan Masyumi tahun 1960, dengan alasan para pemimpinya terlibat dalam pemberontakan. Partai Masyumi mati, hanya karena para pemimpinya yang sangat setia pada cita-cita ideologi Islam. Sesudah Masyumi dibubarkan, para pemimpinnya dipenjarakan Soekarno di rumah tahanan Keagungan, di daerah Kota.


Natsir dan para pemimpin Masyumi lainnya, ketika keluar dari penjara Keagungan setelah adanya pergantian kekuasaan lalu mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah di tahun 1967. Pendirian Dewan Dakwah Islamiyah oleh para pemimpin Masyumi, terutama Natsir, adalah penggambaran dari pribadi-pribadi yang memiliki komitmen terhadapa Islam yang luar biasa. Orientasi kegiatan Dewan Dakwah Islamiyah lebih ditujukan pada bidang-bidang dakwah. Dewan Dakwah Islamiyah pulalah yang pertama kali mengirimkan da’i-da’inya ke daerah-daerah yang jauh dari Jakarta.


Natsir di tahun 1980-an, membangun masjid dan asrama mahasiswa di berbagai kota besar, terutama di kampus-kampus negeri seperti UI, ITB, IPB, UGM, UNDIP, UNAIR, UNILA, UNHAS, UNAND, dan USU. Pemikiran Natsir adalah ingin membangun kader-kader baru, yang berkomitmen tinggi terhadap Islam. Masjid dan asrama menjadi satu agar mahasiswa terbiasa dengan masjid dan mereka dibina dengan nilai-nilai Islam. Inilah jasa Natsir yang tak terhingga, bukan hanya aspek-aspek politik semata yang dipikirkannya, tapi juga pembentukan kader-kader yang tujuannya untuk melanjutkan perjuangan Islam.


Natsir yang setia dengan cita-cita dan ideologi Islam, akhirnya bersimpang jalan dengan Jenderal Soeharto. Karena Soeharto tak beda dengan Soekarno yang diktator dan tiranik. Natsir menulis modus vevendi, yaitu pandangan Natsir terhadap misi zending Kristen yang berkembang pesat di Indonesia. Pandangan itu di sampaikan ketika ada usaha-usaha pemerintah untuk menciptakan kerukunan umat beragama. Namun pandangan-pandangan Natsir yang sangat jelas dalam memposisikan umat Islam dengan golongan lainnya, terutama Kristen, tak mendapat jawaban yang positif karena wakil golongan Kristen, yang diwakili Pendeta Tambunan, menolak substansi dialog. Akhirnya dialog itu mengalami jalan buntu.


Natsir juga menolak penyeragaman ideologi Pancasila melalui P4. Tulisan-tulisan Natsir menanggapi usaha-usaha penyeragaman itu dimuat di berbagai buku penerbitan dan majalah Dewan Dakwah. Natsir menolak Islam menjadi subordinasi ideologi negara Pancasila. Karena Islam itu agama yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, yang tidak mungkin disejajarkan apalagi dijadikan subordinasi dari Pancasila. Inilah yang mengakibatkan ketegangan antara Natsir dengan Soeharto. Ketika situasi memuncak dan kritis, Natsir bergabung dengan sejumlah tokoh, termasuk kalangan militer, membentuk kelompok Petisi ’50. Akibatnya natsir dikucilkan, bahkan dimatikan secara perdata, termasuk dilarang bepergian ke luar negeri.


Para pemimpin Masyumi mempunyai andil yang penting ketika awal pemerintahan Orde Baru. Melalui Natsir lah proses normalisasi hubungan dengan Malaysia terwujud. Almarhum Jenderal Ali Murtopo datang ke rumah Natsir meminta agar pemimpin Masyumi itu membantu menyelesaikan konflik dengan Malaysia. Peranan Natsir yang lain dan tak kalah penting adalah mendorong pemerintah Jepang membantu Indonesia yang terpuruk selama pemerintahan Soekarno. Melalui pertemuan Natsir dengan PM Takeo Fukuda, kemudian Jepang membantu Indonesia dengan menanamkan modalnya ke Indonesia. Namun phobia para para pemimpin militer terhadap para pemimpin Masyumi, yang dicurigai membawa ideologi Islam tidak pernah hilang. Ketika Natsir dan kawan-kawan ingin merehabilitasi partai Masyumi ditolak. Lalu ketika ingin mendirikan partai baru, Parmusi, para tokoh Masyumi tersebut dilarang duduk dalam kepengurusan, seperti Mohammad Roem, yang terpilih secara aklamasi oleh Muktamirin, ditolak oleh Jenderal Alamsyah, yang mewakili pemerintah waktu itu.


Natsir adalah tokoh yang setia dengan pilihan hidupnya. Ia hidup dengan zuhud. Rumahnya di jalan Jawa, konon adalah pemberian Pak Idid Djunaedi. Saat itu, Natsir ditunjuk Presiden Soekarno menjadi Perdana Menteri, sesudah berhasilnya “Mosi Integral” yang menyatukan Indonesia dari negara Federal menjadi NKRI. Waktu itu Natsir tinggal di sebuah gang sempit di daerah Kramat. Maka tidak mungkin seorang perdana menteri tinggal di sebuah gang sempit.


Rumah di jalan Jawa itu ditempati sampai akhir hayatnya. Mobil yang ia gunakan setiap hari dari jalan Jawa ke Kramat 45 adalah mobil ovel yang sudah tua dan tak pernah ganti. Natsir tidak mempunyai peninggalan rumah peristirahatan di puncak-puncak bukit, mobil mewah, atau rekening ratusan milyar. Hidupnya sangat zuhud dan wara’.


Natsir sangat dihormati oleh berbagai pemimpin dunia, terutama di Timur Tengah. Jika ia melakukan kunjungan ke sebuah negara Timur Tengah, ia mendapatkan penghormatan seperti kepala pemerintahan, tetapi ia tetap bersahaja. Ia pernah mendapatkan penghargaan dan hadiah dari Raja Faisal. Namun, itu semua tidak digunakan untuk pribadinya. Natsir sangat dekat dengan Raja Faisal, tapi tidak pernah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.


Natsir benar-benar murid yang setia dari Haji Agus Salim dan A. Hasan. Cerdas dan setia pada cita-cita ideologi dan perjuangan Islam. Tak pernah luntur oleh apapun. Tak tergoda dengan kenikmatan dunia. Gurunya, Haji Agus Salim dan A. Hasan memberikan tauladan yang sempurna bagi kehidupannya. Kita perlu meneladani. Wallahu ‘alam.


Mashadi
Suara Islam edisi 48 (15-28 Rajab 1429 H/18-31 Juli 2008 M)

dengan sedikit perubahan yang tidak merubah arti.