Laman

Selasa, 30 November 2010

Sing...

Hidup adalah rangkaian masalah, Sing. Satu ketika, orang tua begitu mempermasalahkan kenapa anak wanitanya belum menikah juga. Maka menikah adalah penyelesaian dari masalah itu.


Apakah selesai sampai di situ? Ternyata tidak Sing. Setelah menikah, terjadi pertengkaran. Sang anak wanita pun tiba-tiba balik ke rumah orang tuanya. Atau setelah beberapa lama menikah, orang tua mempertanyakan kapan punya cucu. Tengok Sing, dari penyelesaian masalah ternyata menimbulkan masalah baru..

Ya, hidup itu memang rangkaian masalah. Dia tidak akan pernah putus sampai ajal menjemput. Ya Allah kuatkanlah………….

Serang

Serang, 7 November 2010

“Antum nanti berdo’a pas akad nikah karena pada saat itu pintu-pintu langit lagi di buka. Banyak orang yang lupa itu dan lebih fokus merhatiin akad”. Wejangan ust. Watoni di pernikahannya Mas Duta.

Tempat-tempat di mana do’a mudah dikabulkan sama Allah sangat terbatas maka Allah menyediakan juga waktu-waktu di mana do’a mudah dikabulkan. Dan yang ini aku baru tau. Do’a apa ya kemarin?

Barakallahulaka wa baraka-alaika wa jama-a bainakhuma fii khoir ya Mas Dut. Nanti saya susul upsss, amiin..jangan-jangan itu do’anya…

Unggul...

Kelas unggulan. Masih inget dengan istilah ini. Jaman SMP dulu, tapi pas angkatan ku ditiadakan. Dulu ada guru yang bercerita betapa enaknya ngajar di kelas unggulan. Bukan Cuma 1-2 orang, hampir semuanya. Hmm, sekarang ngerasain. Emang enak banget ngajar orang yang pada dasarnya cerdas apalagi kalo pada rajin (jadi inget kata-kata gue kalah sama dia cuma karenadia rajin, bukan karena dia lebih cerdas). Sepertinya gampang aja.


Nah, aku ga mau ngomongin itu. Justru yang mau diomongin adalah anak-anak yang ga masuk kelas unggulan. Pertanyaannya adalah, setelah kita tahu (walaupun hanya lewat nilai raport) anak-anak yang ga masuk kelas unggulan agak kurang kenapa jam belajarnya tetap sama? Kenapa cara ngajarnya tetap sama? Itu kan ga memberikan solusi untuk mereka…Seharusnya setelah tau tingkat kepandaian mereka, kita juga membedakan cara mengajarnya. Entah dengan waktu yang lebih lama atau lainnya.


Ngga cuma sebatas dalam 1 sekolah aja. Aku sih inginnya siswa-siswa yang ga bisa masuk negeri karena alasan nilai juga jam belajarnya di tambah. Kecuali mereka masuk sekolah swasta yang bagus. Untuk poin ini, akreditasi yang dilakukan pemerintah seharusnya diperketat. Ahhh..pendidikan malang nian nasibmu…


Kepikiran setelah SMP3 kembali menerapkan kelas unggulan dengan balutan nama kelas efektif. Tidak seperti kelas lainnya, masuk kelas ini harus bayar bulanan. Yaah jadi mirip SBI gitu sih.

Angkutan Umum

Angkutan umum. Apa menariknya? Penumpang yang penuh sesak, sering terkena macet. Pokoknya tidak nyaman! Tapi untukku mungkin sedikit berbeda. Mungkin juga karena keterpaksaan lantaran ketakutan untuk membawa motor, tapi sepertinya itu cuma faktor kecil saja. Aku merasa nyaman dengan angkutan umum, mulai dari angkutan kota, metro mini/miniarta, bus kota, sampai kereta api (kalo busway belum pernah coba :D). Bahkan naik metromini ketika larut malam memberikan nuansa yang lebih. Jalanan Jakarta yang mulai lengang jadi seperti lintasan balap untuk para sopir. Sebagai penumpang, aku sih cuma bisa banyak istighfar dan mohon ampun maklum brutal banget bawanya. Jadi sulit membedakan Metromini dengan Mesjid karena sama-sama tempat mengingat Allah yang intense.


Kenapa angkutan umum menarik? Karena sering sekali dapat pengalaman (kejadian menarik), baik secara visual, audio maupun menjadi pelakunya. Ditambah kesempatan berbuat baik yang begitu besar terutama kalau naik kereta api dan di sana (kereta api-red) juga paling sering menemukan kejadian-kejadian menarik.


Contohnya, seminggu yang lalu di dalam angkot D10. Ketika seseorang yang (sepertinya) mengalami keterbelakangan mental ujug-ujug naik saat ada penumpang yang turun. Sang Supir pun kontan tidak suka dan mengusirnya. Bisa jadi karena dia berpikir pasti anak ini ga bayar dan itu bakalan membuat sang supir merugi karena armada D10 masih cukup jarang. Padahal trayeknya sangat panjang sehingga banyak orang yang rela gelantungan ketimbang menunggu angkot D10 selanjutnya (termasuk aku :D). Cukup beralasan ditinjau dari dunia yang memang sudah sangat money oriented.


Dalam hati aku berucap ya Allah, hanya untuk 2000 rupiah ko begitu banget sih (cara ngusirnya terlalu kasar). Entah lah kenapa jadi kelu untuk berucap udah bang gapapa, nanti saya yang bayar. Walaupun bisa jadi karena kalau penumpang seperti itu naik, selain tidak bayar, juga akan membuat penumpang lainnya enggan untuk naik atau merasa tidak nyaman. Pikiran ku pun melayang jauh. Sepertinya sudah menjadi tabiat umum manusia untuk memandang rendah pada manusia yang tidak sempurna. Masih ingat beberapa tahun lalu di stasiun pasar minggu, ketika seorang pengemis yang sangat bau mendekati ku dan teman-teman. Salah seorang temanku, sambil menutup hidung, berkata bau banget (dengan sedikit berbisik). Aku ga habis pikir ko bisa ya berucap seperti itu didepan subjek. Kalau aku berada pada posisi pengemis itu, pasti akan merasa sangat sakit dan tertohok. Walaupun kenyataannya memang seperti itu. Bayangkan, ketika mendekati seseorang yang ga dikenal dan orang itu berkata bau sambil menutup hidung dan memalingkan muka… Owhhh man, what did you say?


Padahal orang-orang yang kurang tersebut adalah pengingat kita. Bahwa kita jauh lebih beruntung dari mereka. Bahwa Allah sudah mengaruniakan nikmat-Nya, dalam bentuk fisik dan harta, yang lebih banyak ketimbang mereka. Bahwa mata kita, atau tangan kita, atau kaki kita, lebih sempurna dari mereka. Kenapa kita tidak coba untuk saling menghargai? Kenapa kita tidak coba untuk menjaga perasaan mereka? Bukankah kita diajari untuk saling menghargai, entah dari sekolah ataupun dari orangtua kita.


Sekali lagi, mereka hanya pengingat kita, bahwa kita sudah diberi nikmat berlebih. Ayo kita bersyukur.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. 14:7)


Jumat, 05 November 2010

Di Balik Mentawai

Kamis, 04 November 2010

SETELAH TSUNAMI MENTAWAI

Pejabat Sipil dan Militer yang Kelelahan



PADANG — Mentawai telah memberi kita sebuah tembang baru yang pilu. Sekaligus memberi kita ruang untuk perasaan dan pengetahuan. Semuanya makin sekarang. Keprihatinan meluas. Ada yang bertindak, ada yang berkoar. Ada yang diam, ada yang tak peduli.



Tsunami di sana, merupakan yang tercepat di dunia. Sekejap saja, monster itu langsung menyebar maut. Mentawai jadi berita dunia. Lalu pada Senin (1/11) saya terbang ke Mentawai bersama Gubernur Irwan Prayitno. Saya melihat garut kelelahan di wajahnya. Ketika saya postingkan foto Irwan dan saya di atas helikopter ke facebook, teman-teman mengomentarinya. Antara lain, mereka bertanya, “Kenapa wajah gubernur terlihat lelah.” Yang lelah bukan hanya gubernur, tapi juga wagub serta Danrem dan bupati Kepulauan Mentawai.



Menurut seorang dokter kepada saya sekitar 6 tahun silam, jika dokter bedah habis melakukan operasi berat pada pasien, maka ia harus istirahat sehari dua, karena kalau tidak berdampak pada jiwanya. Di dunia wartawan, jika usai melakukan liputan berat seperti ke Mentawai, boleh istirahat sehari dua. Tak istirahat juga tak apa, tapi harus mau mencari suasana enjoy, hiburlah dirimu. Itulah sebabnya kenapa antara lain, dokter dan wartawan suka karaoke. Sesekali ke Jakarta, he he he.... Hiburlah diri, agar tidak stres. Kalau wartawan tak suka menghibur dirinya, maka kabarnya orang lain akan salah melulu di matanya. Dia saja yang benar.



Menurut saya, gubernur memang harus istirahat barang sehari dua. Kalau tidak ia akan sakit kuning. Sejak dilantik, ia seperti mobil putus rem saja. Teman-teman wartawan peliput di kantor gubernur menjadi saksinya. Lasak benar, berjalan saja maunya. Tiap sebentar ke daerah. Mungkin karena baru menjabat. Gempa dan tsunami Akan halnya gempa 7,2 SR yang menimbulkan tsunami di Mentawai terjadi pada Senin malam. Padang panik. Warga menuju ke ketinggian di bawah guyuran gerimis. Pada saat yang sama, Gubernur Irwan Prayitno terlihat berkeliling kota memantau suasana. “Pak Gubernur kaliliang kota,” kata wartawan Singgalang, Adi Hazwar kepada saya, malam itu.



Saya tak hirau benar, sebab saya punya protap sendiri kalau gempa datang. Begitu gempa, saya lari dengan mobil atau dibonceng teman, sampai ke depan pasar Lapai. Di sana saya parkir, memantau suasana. Setengah jam atau lebih saya kembali ke kantor. Atau ke Simpang Haru, parkir sesudah lampu merah. Aman, balik lagi. Kenapa saya harus pergi? Saya menghindari kemungkinan tsunami yang datang tak terdeteksi. Sirene tak bisa diharapkan, waktu latihan pekak telinga dibuatnya. Datang yang sesungguhnya, sirene itu anok. Kenapa Lapai labih favorit, karena sesampai di sana, berarti tak ada jembatan yang akan patah atau ambruk akibat gempa. Selanjutnya tinggal jalan kaki ke Ampang. Saya takut kalau jembatan patah, tak ada jalan keluar lagi dari pusat kota.



Gubernur ke Jerman menjadi janggal bagi sebagian orang, wajar saja bagi sebagian lainnya. Yang tak wajar, rakyat tidak peduli. Dia di Jerman Jumat (5/11) dan besok siangnya kembali ke Indonesia. “Ambo hanyo 1,5 hari di Jerman, sayang peluang investasi tidak diambil, urusan gempa oleh Wagub,” Irwan berkirim SMS kepada saya, kemarin. Menurut agendanya, Irwan ke Jerman bersama enam gubernur. Ke sana Irwan mengurus investasi bidang infrastruktur. Semoga saja, bisa mengurus bouy sekalian, yaitu alat pendeteksi tsunami. Menurut Ketua DPD Irman Gusman, kepergian Irwan ke sana, untuk kepentingan Sumbar.



Dari segi, “gubernur lelah,” wajar ia rehat sehari dua. Kalau pelesiran, menurut dia, semua negara Eropa sudah dijelajahinya selama ia menjadi anggota DPR. “Sekarang untuk investasi, agendanya padat, saya mohon pengertian,” kata dia lagi. Saya kira Gubernur Irwan bukan orang kurang akal. Ia telah memertimbangan segala hal. Tapi, itu tadi, hak orang pula untuk sinis dan setuju atas perjalanannya ke Jerman. Antara lain, itulah risiko pilihan sekaligus risiko seorang pemimpin. Akan dipuji sekaligus akan dikirik.



Yang menarik justru aktivitasnya sejak gempa 26 Oktober 2010. Senin malam keliling kota, Selasa rapat koordinasi, karena ternyata Mentawai dilanda tsunami. Rabu Wapres Boediono datang dan ditemani Irwan terbang ke Mentawai. Wapres pulang, Irwan tinggal. Kamis giliran Presiden SBY yang datang ke Mentawai. SBY pulang siang, Irwan pulang malam. Begitu sampai di Padang, rapat dan langsung jumpa pers. Jumat menemani SBY. Irwan bergabung dengan Wagub Muslim Kasim yang baru pulang dari luar negeri. Segera rapat dengan Pangdam Bukit Barisan. Sabtu sibuk lagi bersama Wagub mengurus bencana. Wagub terbang ke Mentawai. Minggu Irwan ke daerah, kalau tak salah Payakumbuh.



Senin (1/11) terbang ke Mentawai bersama saya dan teman-teman. Selasa ke Payakumbuh meresmikan sekolah. Selasa menerima Menteri Fadel Muhammad. Rabu terbang ke Jerman. Wagub Wagub di Mentawai pada Sabtu (30/10). Pulang 3 Nobember. Empat hari di sana. Muslim sempat menemani Ketua PMI Jusuf Kalla yang dua hari pula di sana. Empat hari tak ganti baju, AC/DC. Nyaris bau bada badannya. Kepala Dinas Prasjal dan Tarkim Sumbar Doddy Ruswandi setali tiga uang. Apa boleh buat. Ketika pada Senin (1/11) pagi Gubernur Irwan dan saya serta sejumlah pemred mendarat di Mentawai, di helikopter ada dua tas pakaian. Satu milik Muslim lainnya milik Doddy.



Pada Rabu (3/11) kemarin, Muslim terbang lagi ke Mentawai menemami Menteri Fadel Muhammad. Malah di Mentawai, Irwan tiap sebentar ditelepon oleh hampir semua suratkabar dan televisi. Di Mentawai, Wagub Muslim sempat pula jadi ‘reporter’ Danrem Saya menemukan Danrem 032 Wirabraja Kol Mulyono di Mentawai. “Bapak tak pulang-pulang,” kata stafnya. Sejak Rabu pekan lalu smapai Rabu kemarin, Mulyono masih di sana. Ia mengendalikan berbagai gerak relawan, distribusi bantuan. Danrem risau kalau rela wan terdampar, seperti yang terjadi dua hari lalu. Karena itu, tentara ini berusaha mencarinya.



Wartawan asing yang lambat dapat kapal, lantas menuduh diusir, berusaha pula ia jelaskan kepada publik, “tidak ada pengusiran” Ia memberi informasi ke Tanah Tepi, menerima telepon dari wartawan. Ia tentu juga menerima telepon dari istri dan anaknya di Padang. Tentara ini, pada Senin lalu, saya lihat di Tuapejat. Ia menyambut kedatangan Gubernur Irwan. Kami terbang ke Muntei Baru-Baru, ia telah tiba pula di sana. Bupati Akan halnya Bupati Kepulauan Mentawai, Edison Saleleubaja, merupakan pejabat yang selain sibuk, lelah, letih juga harus mengemban tugas lebih berat. Namanya saja bupati. Edison, pada Senin lalu saya jumpai memakai sepatu boat hitam sampai ke lulut. Wajahnya ‘gersang’. Ia menjadi tumpuan harapan sekaligus kekesalan warganya sendiri.



Bantuan yang menumpuk di posko induk, menjadi tanggungjawabnya. Saya melihat, ia tidak kosentrasi lagi. Namun sang bupati berusaha tampil prima, apalagi silih berganti pejabat penting datang ke sana. “Bapak kurang tidur, makan juga telat terus,” kata stafnya kepada saya. Itulah hal-hal yang sempat terdeteksi oleh wartawan Sing galang dan sebagian jadi berita. Lalu, Irwan ke Jerman. Selanjutnya terserah Anda. (Kj)



Sumbernya