Laman

Kamis, 12 Agustus 2010

Saat Batu Nisan ku Miring

Kukecup dalam-dalam butiran waktu yang berselang, Sembari menanti jarak antar pagi yang terus berjalan. Termaknai sudah oleh langkah kaki yang tak henti melintasi jemari hari.
Barangkali itulah tanda-tanda saat akan mati.... lirih...tapi pasti.


Gerah kurasakan bibir penuh duri ini walau telah kupatahkan dengan baja tak bertali.
Mungkin esok atau lusa aku tak lagi berkawan tentunya bukan karena terlalu menawan.
Sudah semestinya tanah itu menjadi penginapan terakhir kala hujan tak lagi menunggu payung, kala terik tak lagi menunggu pohon nan rindang.
Kepayahan ini terjawab sudah oleh titik amal yang melegenda dan terukir di koridor jagad raya.


Tapi ada satu hal yang kuharap tak kau lupakan, kumohon duhai kawan...karena bahkan aku tak sanggup berdiri lagi, sekedar menegakan nisan miringku sendiri atau beberapa helai rumput yang mengusik diatas pusaraku. Kalau kau kira pernah ada kebaikanku padamu walau itu tak bernilai, sudilah sejenak engkau berbelas kasih menegakkannya lagi untukku untuk makhluk yang tak luput dari kerak dosa yang semoga itu menjadi simbol bahwa aku masih sanggup berdiri gagah mempertanggungjawab kan perbuatanku. Biar lelah ini sedikit terwarnai, biar sunyi ini kian terjaga oleh hari, karena aku terlalu gontai untuk bertahan, atau setidaknya lumut dosaku tak juga berjejal di pembaringan terakhirku.


Aku bukan siapa-siapa untuk kemewahan dan kekuasaan, apa lagi ketenaran.
Aku takut tak ada Ridho untuku oleh karenannya kupilih air mata walau kutahu takan cukup sebab aku terlampau sesak oleh dosa-dosa... .........

Setyo Budi