Laman

Rabu, 29 Agustus 2012

Terlalu Dini aka Kepagian

Hari pertama belajar efektif (buat pelajaran aku) datengnya sangat-sangat pagi. Jam setengah tujuh udah sampai Annisa, gedung baru pula. Enak juga sih pepanjang jalan ga ada macet yang berarti. Coba setiap hari bisa kaya gini.

Hmmm.. Apa lagi ya.

Minggu, 05 Agustus 2012

Bila Istri Cerewet

Adakah istri yang tidak cerewet? Sulit menemukannya. Bahkan istri Khalifah sekaliber Umar bin Khatab pun cerewet.

Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa. Menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.

Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel?  Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun? Umar berdiam diri karena ingat 5 hal. Istrinya berperan sebagai BP4. Apakah BP4 tersebut?

1.     Benteng Penjaga Api Neraka  
Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat. 
Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab yang kelak diterimanya. Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat. 
Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari, bernyanyi dengan liukan yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.
  
2.     Pemelihara Rumah 
Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai mejelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan uang, beli ini, beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia. Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.
Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia  lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebani.


3.     Penjaga Penampilan 
Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu.


4.     Pengasuh Anak-anak 
Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, “akulah yang membuatnya begitu.“ Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar paham benar akan hal itu.
  
5.     Penyedia Hidangan 
Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami Cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam, sambal terasi dan lalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi angaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milih cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.
  
Dengan mengingat lima peran ini, Umar kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.
Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya. Wallahu’Alam (Koko Nata)



Diolah dari Cahaya Iman, edisi kamis, 30 November 2006-11-30
Bersama Ustad Cinta di Indosiar pukul 04:30

Cinta Manajemen : 08129619741, 02168482227
Ustadzcinta_ manajemen@ yahoo.com

Jumat, 03 Agustus 2012

Siapkan

Siapkan satu ruang di dada ini untuk kekurangannya. Satu quote yang saya dapat pas i'tikaf, tapi lupa tahun berapa. Kemungkinan besar 2010. Ini pas kuliah shubuh oleh ust. Muhsinin. Catetannya ada di K800 saya yang raib Februari lalu. Udah 2 kali kehilangan handphone dan ada 2 hal yang disesali akibat kehilangan itu, nomor kontak dan catetannya. Sampe bilang "mas, HPnya gapapa deh ambil, tapi kontak sama catetannya jangan donk".

Sebenernya ketika itu lagi ngebahas tentang tafsir surat Ash shaff. Pas sampai di ayat ke 4, bagian Bun ya num marshush. Secara utuh sih arti ayat ke 4 Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. Awalnya memang ust Muhsinin menghubungkannya dengan barisan perang, barisan dakwah, tapi lama kelamaan malah menyinggung tentang pernikahan. Sampai keluar kata-kata itu Siapkan satu ruang di dada ini untuk kekurangannya. Menurut beliau sesuatu yang kokoh harus teratur, tapi keteraturan bukan berarti keseragaman. Contohnya, bangunan rumah, kalau seragam semua, misal genteng semua ya ga akan jadi rumah. Barisan yang kokoh itu di dapat dari penyatuan sesuatu yang berbeda-beda. Sama dalam hal menikah pun kekokohan rumah tangga bukan di dapat dari hal-hal yang sama antara pasangan, misalkan sifat yang sama. Tapi bagaimana mengkondisikan semua perbedaan sifat yang ada itu. Setelah mendengar kuliah shubuh ini, kalau denger orang jadian karena merasa banyak kesamaan, saya jadi ketawa-tawa sendiri. Contoh yang paling inget ketika itu kalau suaminya terlalu pinter dan istrinya terlalu pinter biasanya rumah tangganya kurang baik karena siapa yang mau mengalah nantinya. Sampai beliau bercerita ada seorang wanita lulusan S-2 dari Jerman yang akhirnya dipasangkan dengan seorang pria lulusan SMA. Hmm, jauh banget ya.

Saya suka kata Siapkan satu ruang di dada ini untuk kekurangannya karena dalam beberapa tahun terakhir saya sedang menerapkan itu dalam hubungan pertemanan walaupun dalam kata yang berbeda. Saya ingin menerima bagaimanapun sikap orang lain, menyikapinya dengan lebih tenang. Di awal-awal kuliah selalu ada clash sama temen sekost-an. Ada aja sifat temen yang ga bisa saya terima. Bahkan di Leuwikopo saya nyuekin Yudis berbulan-bulan (maaf ya Yudis, semoga ketemu lagi satu saat nanti jadi bisa minta maaf). Dan saya ga ngerti apa ya alasannya, ga suka aja. Setelah ngetem di Al-Fath dan numpang di Pondok Keramat lalu tinggal di Bale Selatan, akhirnya mulai mencoba menerima semua orang, menekan semua ego itu. Ya ga semudah membalikkan telapak tangan sih. Bahkan sampai di dunia kerja sempet kesel banget sama temen yang gengsinya gede dan sok tau banget. Bahkan dalam satu perbincangan, dalam hati bilang "ini mah sekali tekuk, gue bisa ngebunuh semua argumennya" dan memang seperti itu walaupun dia ngeles dengan semua alasan yang dia punya. Ckckck. Waktu itu sempet bingung, kenapa Lukman bisa nerima orang itu sebagai temen karib ya. Belajar dari Lukman untuk diem aja ngadepin orang kaya gitu, karena kalau kita patahkan semua argumennya bisa makan hati juga lantaran orangnya ga mau ngalah dan ga mau ngaku salah.

Siapkan satu ruang di dada ini untuk kekurangannya, itulah yang akan coba saya lakukan.



Un..

Maafkan aku..
Membuatmu tak suka...
Karna aku, tlah denganmu..
Bukan maksudku...
Membuatmu berfikir..
Apakah aku, pelarianmu saja..

(Ari Lasso - Ariel Tatum)

Kamis, 02 Agustus 2012

Aneh

Jangan-jangan aku punya kepribadian ganda.
Atau cinta itu seperti blok-blok mental yang menghalangi.
Aneh..