Laman

Sabtu, 27 Februari 2010

Salah Kaprah

Sore kemarin, suara gaduh, tanpa diundang, tiba-tiba aja masuk kamar. Segera terbangun dan sedikit melirik lewat jendela. Wooow, anak tetangga sebelah lagi ngamuk. Seperti yang sudah-sudah, memang tabiatnya luar biasa kacau kalau lagi nangis. Dia terbiasa bergulingan (bahasanya apa sih?) di tengah jalan, kakak saya malah lebih ekstrim dengan bilang dia “gila”. Anak perempuan kelas 1 SD yang terlalu di manja, lagaknya seperti raja. Saya sendiri sudah muak dengannya dan juga kakaknya, yang kelas 6 SD. Dua anak itu ga pernah bertegur sapa lagi dengan keluarga saya, sejak sebelum lebaran, bahkan tidak dateng ke rumah ketika lebaran. Salah apa kami? Dan orang tuanya menganggap itu biasa. Bahkan tetangga yang duduk di rumah saya pun seperti menjadi musuhnya. Satu ucapan anak kelas 1 SD itu yang masih saya ingat “ngapain lu liat-liat ke sini (rumahnya)?”. Kata “lu” untuk nenek-nenek yang sering bertandang ke rumah, teman-teman ibu. Jangan tanya bagaimana pendapat ibu dan teman-temannya tentang dua anak itu.

Satu waktu di ramadhan tahun lalu, ba’da tarawih, kakaknya yang sudah kelas 6 SD dan bersekolah di sekolah Islam, memanggil saya dengan kata “setan”. Ketika itu hanya do’a yang terucap “semoga satu saat di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dia bertemu dengan sebuah keajaiban (mentoring) yang bisa merubah dia”. Ya.. semoga aja ada hidayah yang nyangkut, sehingga dia sadar dengan kesalahannya dalam bersopan santun terhadap orang yang lebih tua, terhadap pembantu, dan tentunya terhadap kedua orang tuanya.

Kembali ke kegaduhan, ternyata yang kemarin sore lebih dari biasa. Karena pembantunya sampai nangis-nangis, di gigit dan di kejar-kejar sambil membawa pisau/gunting dan adiknya, yang berumur kurang dari 2 tahun, juga jadi korban pelampiasan tangisnya. Sampai balita itu terlihat shock. Makanya kegaduhan kemarin lain dari biasanya. Kegaduhan yang membuat ibu-ibu tetangga harus turun tangan mencegah itu. Luar biasa! Dari mana pikiran sejahat itu hadir dalam otak anak SD kelas 1?? Anak sekolah Islam pula.

Televisi kah? Sangat mungkin. Perhatikan saja sinetron-sinetron yang ada. Anak SD bisa berkomplot merencanakan kejahatan untuk mencelakakan temannya, balas dendam, berebut harta, berebut pacar. Dari satu sinetron ke sinetron lainnya, temanya sama dan ga akan jauh dari sana. Tapi menurut saya, andil paling besar datang dari kesibukan kedua orang tuanya yang bekerja. Apalagi sang ayah bekerja di luar negeri. Sehingga ketika bertemu yang ada adalah pelampiasan kasih sayang seluas-luasnya karena terlalu lama berpisah, bukan menjadi panutan, malah menjadi pembela tanpa kompromi. Dan sepertinya mereka berpikir dengan menyekolahkan ke Sekolah Dasar berlabel IT, masalah akhlak akan selesai. Sebuah pemikiran yang salah kaprah lantaran untuk jenjang SD, rumah jauh lebih berpengaruh ketimbang sekolah. Barulah ketika SMP, lingkungan sekolah berpengaruh padanya. Saya pun menemui anak SMP kelas 7 yang mulai berubah. Ketika awal, bahasanya sangat sopan “aku “dan “saya”. Kini, “lu” dan “gue” mulai terbiasa. Ketika SMP itulah masa remaja di mulai. Masa di mana seorang anak ingin menemukan jati dirinya bla-bla-bla-bla. Sudah lah saya bukan anak psikologi, tapi pengetahuan tentang itu sangat penting.

Kamis, 11 Februari 2010

Lagoon 500

Catatan itu muncul di layar komputer tiga hari lalu. Dari Sensen Gustafsson, teman yang bermukim di Swedia. Catatannya aktual, tentang pembelian kapal survei senilai Rp. 14 miliar oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan.

“Geli rasanya,” komentar Sensen tentang pembelian itu. Bukan karena kapal itu tidak bagus, melainkan karena pilihan jenis kapalnya, sebuah yacht Lagoon 500. Kapal jenis Katamaran ini, menurut dia, hanya akan memuaskan hasrat personal ketimbang tujuan riset dan pemantauan lingkungan. Maklum, kapal layar jenis ini lazimnya untuk para konglomerat kaya dunia dengan fasilitas layaknya hotel bintang 5.

Saya sepenuhnya sepakat dengan Sensen. Apalagi dia kredibel dalam soal ini. Sebagaimana keluarga lainnya di Swedia, dia memiliki kapal yang biasa digunakan untuk menyinggahi pulau-pulau yang amat banyak di negerinya. Suaminya, saat tahu Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli Lagoon 500 untuk survei, pun berseru takjub. “Are you kidding?” katanya. Lagoon 500, baginya, lebih mungkin untuk bersenang-senang dibandingkan penelitian.

Dari sudut harga dan kelengkapan, kapal ini adalah gambaran kelengkapan dan kemewahan. Tidak hanya bagi kita yang sulit menghitung angka nol pada nilai 14 miliar, melainkan juga bagi para pemilik kapal layar di dunia. Amat mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ada hal yang berlebihan, tidak proporsional, dan keterlaluan dalam masalah ini.

Citra kemewahan akan sangat terasa saat fakta yang hadir adalah sesuatu yang tak terbayangkan bakal terjangkau. Kalau kita tak mampu membeli mobil senilai Rp. 200 juta, maka kita akan menyebutnya sebagai barang mewah. Kalau kita tak mampu membeli rumah seharga Rp. 1 miliar, maka kita akan menilai rumah seharga itu sebagai kemewahan. Tapi, kalau kita punya mobil senilai Rp. 300 juta dan rumah seharga Rp. 5 milyar, maka kita takkan lagi merasakan kemewahan pada mobil dan rumah dengan nilai di bawahnya.

Kalau pemilik ide pembelian Lagoon 500 menilai kapal itu dalam jangkauan kemampuan mereka, maka ia takkan merasakan kemewahan kapal itu. Mereka akan menyebutnya sebagai kewajaran. Sayangnya, hal ini bermakna bahwa ia berjarak amat jauh dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat yang uangnya mereka setor dalam bentuk pajak dan menjadi modal pembelian kapal itu.

Kesenjangan semacam itu berbahaya. Pemegang kebijakan tumpul nuraninya dan menggunakan standar kehidupan yang menjulang seakan-akan sebagai haknya. Takkan mengherankan, bila mereka juga akan berlaku serupa saat membeli mobil dinas, membangun pagar kantor, atau merenovasi rumah jabatan. Padahal semua modal pembelian, pembangunan, atau renovasi berasal dari rakyat yang akan menganggap semua itu sebagai kemewahan.

Di masa lalu, sekitar masa pergeseran abad ke-19 ke abad ke-20, perilaku ini muncul di kalangan priyayi, pengemban jabatan dari pemerintah kolonial, dan para bupati. Tentu bukan Lagoon 500 atau Toyota Crown Royal Saloon yang mereka pertontonkan kepada rakyat pembayar pajak atau upeti, melainkan kuda-kuda terbaik dan tergagah. Para Bupati biasa menukarkan kuda-kuda mereka yang patah kakinya dengan kuda-kuda bagus milik priyayi rendahan. Mirip seorang menteri yang mengeluhkan kendaraan dinas Toyota Camry berusia lima tahun dan begitu senang karena kendaraan penggantinya bernilai tiga kali lipat.

Ini adalah persoalan gaya hidup yang terpaut jarak amat jauh dengan kehidupan rakyat. Elite-elite birokrasi tak merasa bersalah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan yang menurut mereka wajar belaka, padahal rakyat menganggapnya sebagai hal yang tak patut. Di era modern, mereka mungkin akan melakukan “penelitian” di atas Lagoon 500 seraya mengajak anak istri karena empat kamar di dalam kapal itu memang nyaman untuk berpesiar. Ini tak ada bedanya dengan para bupati di masa lalu yang acap mengajak kawan-kerabatnya untuk berburu harimau atau rusa, walaupun sadar betapa mahalnya pesiar semacam itu.

Kesenjangan ini pula yang sebenarnya muncul dalam persoalan penggusuran di rumah-rumah dinas militer. Mereka yang terusir lazimnya adalah keluarga kelas prajurit hingga perwira menengah, bukan perwira tinggi. Saat kebutuhan rumah untuk mereka tak terpenuhi, segelintir perwira justru berjarak dengan gaya hidup mereka yang berbeda. Boleh dibilang, semua kesatuan memiliki lapangan golf. Demikian pula, banyak kotama di daerah dan korps memiliki fasilitas semacam itu. Untuk siapa? Tentu bukan untuk tamtama atau bintara.

Kemewahan yang melampaui rasa kepatutan masyarakat adalah hal konyol. Dalam banyak kasus malah memalukan. Saya teringat cerita tentang para utusan pemerintah kita saat menegosiasikan utang dengan Jepang. Mereka datang ke tempat pertemuan menggunakan mobil mewah, sementara para pejabat negara pemberi utang justru hadir naik kereta bersama masyarkat mereka pada umumnya.


Arys Hilman
Solilokui, Republika Ahad 31 januari 2010.

================================================================

Arys Hilman, hmm sejak baca artikel berjudul kegagalan empati, saya jadi suka dengan tulisan wartawan yang satu ini. Seru, dan kalo lagi beli Republika selalu nyari-nyari tulisan dari Arys Hilman. Sayangnya sampe sekarang saya ga tau apakah tulisan beliau terbit rutin.

Lagian saya juga ga langganan Republika. Waktu di Kampus sih tinggal ke Al-Hurriyah aja, baca gratis..hehehe....