Laman

Selasa, 17 Juli 2012

Tanggapan....


Wednesday, 31 Oktober 2007


SAHABAT SENJA

“Akhii, hmm, sayaa boleh ikutan ngajar?” kata-kata Aldi barusan mengalir agak tersendat dari mulutnya. Seperti ada keraguan di sana. Saya yakin, bukan keraguan karena niatnya, tetapi mungkin dia ragu akan penerimaan saya kepadanya. Pemuda seperti saya, apa pantas beramal dengan mengajar suatu ilmu kepada orang lain? Mungkin begitu batinnya berbicara. Segera saja saya jadi teringat dengan perkataan salah seorang teman dekat di kampusku. Antara pemahaman dengan tercapainya suatu tujuan, “hanya” terbentang jarak satu mata rantai pengamalan. Jadi, bersegeralah untuk menyambung mata rantai tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh.

Saya mengenal pemuda tersebut beberapa tahun yang lalu. Kegiatan keislaman membawa kami dalam gelombang yang sama. Satu pemikiran dan satu tujuan. Selebihnya, banyak sekali hal yang kami lakukan untuk sekedar saling berbagi.

Dia termasuk anak yang pandai. Jarang belajar, tetapi selalu mendapat nilai yang bagus. Emang dasar anak yang cerdas. Jiwanya serasa bebas. Tidak ingin terikat dengan segala belenggu aturan. Tetapi koridor keagamaan selalu berusaha dipatuhinya.

Suatu kali, dia pernah bercerita tentang gadis yang disukainya.
“Dy, maafin gue ya. Sejujurnya, selama ini gue suka sama si Indah. Itu gara-gara lo sering cerita ke gue. Gue juga jadi simpati ke dia. Berlebihan memang, karena simpati itu makin lama turun ke hati. Menunjukkan eksistensinya dengan nama cinta dan sayang.”
“Dan kemarin, gue ngasih hadiah ke dia. Kan dia ulang tahun. Gue minta maaf kalau terkesan nusuk lo dari belakang.”

Saat itu juga, memang serasa ada yang menusuk jantung kala mendengar perkataan itu. Indah adalah sesosok gadis yang saya sukai, walau hanya sebatas kagum dan simpati. Tidak lebih. Tetapi, perasaan tersebut hanya sebentar menghinggapi. Selanjutnya, entah energi apa yang menyelimuti saya, yang jelas ada kekuatan yang muncul untuk berkata:
“Ya sudah, ngga apa-apa kok. Selama lu tanggung jawab dengan perasaan lu, you go friend. Gue ngga apa-apa. toh, gue ngga ada hubungan apa-apa kok.” Huhh, diorama semasa SMA yang sulit terlupakan. Ada sedih, senang, gembira, duka, semuanya tercampur menjadi satu dalam bingkai keremajaan yang indah.

Dan empat tahun ke belakang adalah masa-masa yang suram bagi dirinya. Kami dipisahkan oleh jarak dan universitas. Jauh. Dan semuanya terasa semakin jauh manakala kudapati dia sudah tidak seperti dulu. Dia berubah. Dia yang dulu pernah memegang posisi ketua pembinaan, kini kelimpungan membina diri sendiri yang solat lima waktu saja sering bolong. Boro-boro puasa sunah senin-kamis, puasa ramadhan saja yang notabenenya adalah puasa wajib, dengan tanpa rasa takut, terkadang ditinggalkannya karena tidak tahan terhadap lapar dan dahaga.

Ketika orang lain sedang asyik tarawih, dia pun sedang asyik bermain bilyard dengan kawan-kawan lainnya yang sejenis. Pulang larut malam ataupun dini hari itu sudah biasa. Bahkan saat itu, jarang sekali dia pulang ke kos. Sekalinya pulang hanya sekedar ganti baju. Dan Jarang sekali dia mandi.

Pernah satu kali, dia memaki-maki orang yang sedang mengaji. Berisik katanya! Padahal saat itu sedang bulan Ramadhan. Ke masjid, malasnya minta ampun. Padahal jaraknya hanya “sejengkal”. Lokasi masjid tepat berada di depan kosannya. Entah peristiwa apa yang dihadapinya hingga ia berubah seratus delapan puluh derajat bedanya.

Kehidupannya mungkin akan terus kelam seperti ini jika saja dia tidak secara sengaja menemukan buku kecil pemberian temannya ketika dia ulang tahun yang kedua puluh. Saat itu terasa biasa saja. Tetapi kini, hadiah tersebut terasa bermakna. Memorinya kembali pada kebersamaan di waktu senja SMA. Berputar dan terus berputar. Mengingatkan sampai hal-hal yang terdalam. Tentang arti kehidupan, dan tentang makna kematian. Semuanya juga mengingatkan dia kepada sosok pemberi buku kecil tersebut. Sosok yang menjadi teman baiknya kala SMA, yang antara dirinya dengan sosok tsb senantiasa saling menasehati dan mengingatkan. Dan kini dia menangis tergugu di hadapan Quran, buku kecil tersebut. Ada kerinduan yang menyayat hati untuk segera membacanya.

Itu semua diceritakannya ketika secara sengaja dia menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku. Dia tidak berani menatap mata saya. Biarlah, walau hanya cerita, itu sudah cukup bagi saya. Di sela-sela ceritanya yang kadang lancar dan kadang tersendat, air matanya ikut mengalir. Dia tidak berani bercerita lebih jauh tentang kegelapan yang sudah dilaluinya. Tidak apa batinku, asalkan kau telah sadar dan kembali, itu sudah cukup, bahkan berlebih. Biarlah masa lalu menjadi catatan tersendiri bagimu.

Beberapa hari setelah dia berkunjung, kabar itu datang. Aldi tertabrak mobil ketika ingin pulang ke kos untuk melakukan solat Isya. Waktu itu pukul dua puluh dua malam tepatnya. Tidak banyak yang tahu tentang kabar ini. Saya pun tahu kabar tsb dari kakaknya. Segera saja keesokan harinya saya pergi. Tak ku pedulikan lagi presentasi siangnya.

Rumah sakitnya cukup sulit untuk ditemukan. Terletak di kota yang saya jarang sekali mengunjunginya. Butuh perjuangan yang luar biasa. Setelah sempat tas saya di silet di kereta, dan tanya kesana kemari, akhirnya saya sampai juga di lokasi. Kondisinya lumayan parah, tapi Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaiki diri.
***
“akhii, boleh ngga saya ikutan ngajar? Kalau ngga boleh ngga apa-apa kok” Suara itu kali ini terasa lembut dan tersirat iba di sana. Segera saja saya tersadar dari lamunan tentang Aldi dan segera menjawab pertanyaannya dengan mantap seperti tidak ingin diselingi oleh satu desahan nafas sekalipun. “Yup, situ bisa ngajar ini... jam segini...?“ tanpa berbasa-basi lagi, saya jelaskan semuanya, dan saya juga menanyakan kesanggupannya tentang pelajaran apa saja yang dikuasainya. Saya tidak berpikir panjang lagi mengenai background pemuda tersebut, walau saya tahu pengalaman hidup yang kelam pernah dilaluinya. Semoga kebersamaan ini, dapat membimbing kami kembali menuju kutub yang positif.

Senja ini, Tuhan telah mengembalikan dia dalam rengkuhanNya kembali. Dan saya pun jadi punya kesempatan untuk saling berbagi kembali dengannya. Seperti dulu, ketika kami pernah melewati senja di sekolah, di bawah pohon bambu yang tertiup angin sambil memandang ke arah danau selepas bermain bola. Kali ini, nadanya agak berbeda. Akan tetapi bukan berarti tidak seirama. Biarlah, kami akan menciptakan irama baru yang semakin merdu.
=================================================================================================
Cerita ini hanya fiktif belaka, eh salah, cerita ini diambil dari tulisan seorang teman dalam blognya (www.diyo.blogspot.com). sebenernya banyak tulisan lain di dalam blognya yang lebih bagus, tapi pas baca tulisan ini, ehm ehm deh. Seperti membaca garis hidup sendiri, walaupun agak samar karena memang sengaja dibuat seperti itu. Satu hal yang pasti nangis, waktu ngebacanya! Di rental nangis? Ga peduli! Yaks, ada sisi-sisi yang menyentuh emosi, mungkin karena itu tadi, seperti garis hidup sendiri. Apalagi kalau bener kawan yang satu ini harus meninggalkan presentasinya dan harus di silet tasnya, waduh….!!


Ahmad Sudia Abdurrahman namanya. Dio begitu biasanya dia dipanggil (kenapa bisa jadi Dio ya? Seharusnya kan Dia, pertanyaan yang dari dulu belum dijawab, la wong ga pernah ditanya masa dijawab ^_^) seorang teman yang begitu mencintai keluarganya, ibunya, adik dan kakak perempuannya dan tentu abahnya. Teman yang nyaris tak pernah menampakkan raut kemarahan. Satu sekolah selama enam tahun, tapi baru mulai berbagi pada dua tahun terakhir dalam kebersamaan itu. Dia (or Dio, mirip kan) temen yang mengasyikkan. Kami sekelas waktu kelas II SMA dan duduk bersebelahan. Dulu kita suka maen banyak-banyakan sariawan (aneh ya), karena kita berdua sering banget sariawan. Maen gede-gedean nilai, untuk yang satu ni Dio lebih sering menang. Apalagi kalau pelajaran matematikanya bu Liza. Oia kita juga sempet mencoba menghafal Al-Qur’an, biar semangat jadinya dibuat sedikit berkompetisi (kalau bukan karena hal ini mungkin saya hafal Al-Baqarah Cuma sampai lima ayat pertama aja). Kita juga satu organisasi di ROHIS. Dan ROHISlah yang lebih mendekatkan kami, bukan hanya kedekatan karena hal-hal diatas, tapi juga kedekatan hati. Dio juga sempet nawarin saya jadi pengurus koperasi, tapi saya tolak. Karena apa ya? Saya lupa alasannya. Tapi setelah berjalan saya sering bantu koperasi beli barang-barang (90% makanan dan minuman) buat dijual sama koperasi. Kita belanja kadang banyak banget, sampai orang-orang nanya “buat apaan dek?”. Maklum kita masi pake seragam sekolah. Kita berdua paling ga suka duduk depan dan anehnya waktu tempat duduknya diputer kita ga pernah kebagian di depan karena waktu kelas II hampir setiap hari ada anak yang ga masuk. Termasuk kita berdua. Kalau Dio sering banget hari selasa ga masuk sekolah (jaga wartel ya io? Hehe).


He’s such a nice friend. Dio bener-bener sahabat yang menyenangkan, yang bisa mengerti keadaan kawannya, yang memberikan telinganya untuk terus mendengarkan cerita-cerita saya, Tapi, entahlah apakah saya juga sahabat yang menyenangkan buatnya.


Semoga Allah selalu mempermudah urusanmu di dunia dan akhirat kelak.

Jatuh dan bangun dalam kehidupan, adalah fitrah dari perjuangan
Dikala hati kita terlena, ingatlah Allah setiap saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo....